Berkaitan dengan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit, maka untuk timbulnya tanggung jawab pidana
dalam pelayanan kesehatan oleh rumah Sakit, pertama tama harus dibuktikan adanya keselahan
profesional yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang melaksanakan upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit. Untuk itu
pertanggungjawaban pidana yang dimaksud dibebankan pada tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan saat melaksanakan
tugas pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
Tindak pidana pelayanan kesehatan
berbeda dengan tindak pidana biasa, terlebih lagi tindak pidana dalam
ruang lingkup pelayanan Rumah Sakit, karena fokus pada tindak pidana pelayanan kesehatan adalah
sebab atau kausa dari tindak tersebut,
sedangkan pada tindak pidana umum terletak pada akibat dari tindak pidana
tersebut.
Dalam tindak pidana pelayanan kesehatan atau disebut
dengan criminal malpractice, untuk adanya pertanggungjawaban pidana maka harus
dapat dibuktikan tentang adanya kesalahan
profesional, misalnya kesalahan
diagnosis atau kesalahan cara pengobatan atau peralatan. Demikian pula
dengan tanggung jawab Rumah Sakit dalam ruang lingkup hukum pidana
diantaranya adalah jika tenaga kesehatan yang
menjadi pelaksana tugas
pelayanan di Rumah
Sakit melakukan kesalahan profesional. Adapun dalam penjatuhan
sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Perbuatan dilakukan oleh subyek hukum yang melaksanakan tugas pelayanan kesehatan di rumah sakit,
sebagaimana telah disebutkan bahwa tenaga kesehatan yang melaksanakan tugas
profesionalnya di rumah sakit yang bersangkutan.
2. Adanya kesalahan, bahwa kesalahan dalam pelayanan kesehatan diRumah Sakit pada umumnya terjadi
karena kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Bentuknya bisa berupa melakukan
perbuatan yang seharusnya tidak
dilakukan atau sebaliknya tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
3. Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum. Sifat melawanhukum bisa terhadap hukum formil
maupun hukum materiil.
4. Pelaku mampu bertanggungjawab yakni sehat jiwa
atau akalnya.
5. Tidak ada alasan yang menghapus pidana.
Ditinjau dari aspek hukum pidana, masalah hukum pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit tidak hanya berupa perbuatan yang
disebut dengan malpraktik saja melainkan
juga bentuk perbuatan lain yang didasarkan pada standar pelayanan rumah
sakit sebagai ukuran, maka tiap tindakan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak
sesuai dengan standar pelayanan
rumah sakit termasuk sebagai
perbuatan melawan hukum. Bahkan tidak mustahil tindakan-tindakan itu masuk dalam kategori perbuatan pidana atau delik
dan oleh karenanya memiliki konsekuensi yuridis berupa sanksi pidana.
Dibawah
ini ada beberapa rumusan pasal yang mengatur tanggung jawab pidana
yang berhubungan dengan Rumah Sakit, sebagai berikut :
Salah
satu tugas Rumah Sakit dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan adalah mengelola
rekam medik pasien dengan sebaik-baiknya, karena rekam medik yang berisi
catatan medik pasien mengandung sifat kerahasiaan. Di dalam Undang-Undang Rumah
Sakit Pasal 38 dirumuskan dengan jelas bahwa
(1) Setiap Rumah
Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran
sebagaiman dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak
hukum dalam rangka penegakan hukum, atas
persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur denganPeraturan Menteri.
Sebagai ketentuan pidana umum,
pada rumusan KUHP dapat dijumpai ketentuan-ketentuan pidana yang dapat diberlakukan
pula terhadap Rumah Sakit selaku pemberi layanan
kesehatan jika melakukan perbuatan yang melanggar norma hukum pidana. Ketentuan-ketentuan dimaksud terletak pada pasal-pasal
berikut ini :
Pada ketentuan Pasal 322 KUHP,
rumusan pada pasal ini terkait dengan kesahatan yang berhubungan dengan
kedudukan hukum seseorang sebagai pemegang jabatan dan dapat pula diterapkan pada
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
Rumah Sakit yakni membuka rahasia medik pasien, hal ini terkait dengan
persoalan pengelolaan Rekam medik. Dalam pasal ini dirumuskan bahwa :
(1)
Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajibdisimpannya
karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang
dulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Bila kejahatan ini dilakukan terhadap seseorang, maka perbuatan itu dapat dituntut hanya atas pengaduan orang
itu.
Jadi apabila pengelolaan rekam
medik tidak dilaksanakan dengan baik dan menyebabkan rahasia medik pasien
tidak terlindungi, jika dikaitkan denganketentuan KUHP, Rumah Sakit dapat dibebani tanggung jawab
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 322 KUHP tersebut diatas.
Ketentuan lain dalam
KUHP yang berhubungan dengan tanggung jawab pidana Rumah Sakit
adalah terkait dengan kejahatan, kesusilaan, kejahatan terhadap nyawa antara
lain termuat pada ketentuan Pasal 299 KUHP. Dalam pasal ini dirumuskan bahwa :
(1) Barang siapa
mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan memberitahukan
atau menimbulkan harapan bahwa denngan pengobatan itu kandungannya dapat
digugurkan, diancam pidana
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima
ribu rupiah.
(2) Bila yang bersalah berbuat
demikian untuk mencari keuntungan ataumenjadikan perbuatan tersebut sebagai pekerjaan atau
kebiasaan atau apabila ia seorang dokter, bidan atau juru
obat, pidananya
dapat ditambah sepertiga.
(3) Bila yang bersalaah
melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pekerjaannya,
maka haknya untuk melakukan pekerjaan itu dapat dicabut.
Dari
pasal diatas dapt diambil contoh kasus tentang Rumah Sakit Bersalin yang melalui tenaga kesehatannya (dokter, bidan,
perawat dan tenaga pembantu lainnya)
melakukan tindakan aborsi kepada pasien. Untuk kasus tersebut tanggung jawab
pidana dibebankan kepada tenaga kesehatan yang bersangkutan, selanjutnya pada Pasal 535 KUHP berbunyi :
"Barangsiapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan
kandungan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan sarana
atau pertolongan untuk menggugurkan kandungan, ataupun secara
terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menyatakan bahwa
sarana atau pertolonngan yang demikian itu bisa didapat, dengan pidana kurungan
paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah"
Pasal tersebut diatas
bisa menjadi dasar pertanggungjawaban pidana Rumah Sakit, dari
contoh kasus
diatas menunjukkan bahwa
Rumah Sakit
menjadi sarana dilakukannya perbuatan pidana oleh tenaga kesehatan. Rumusan
pidana yang termuat dalam KUHP sebagaimana diuraikan dalam beberapa
pasal diatas dapat dikecualikan dalam hal tertentu yakni :
a. Dalam hal pasien memberikan ijin
membuka
rahasia dimaksud, maka
sanksi sebagaimana diatur pada Pasal 322 KUHP tidak dapat diterapkan.
b. Dalam
hal orang yang melaksanakan perintah undang-undang sebagaimana diatur pada
Pasal 50 KUHP,
bahwa “Orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang tidak boleh dipidana.
c. Dalam hal orang yang melaksanakan perintah jabatan, seperti dirumuskan
pada Pasal 51 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Orang yang
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak boleh dipidana.
(2) Perintah jabatan
tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang
diperintah mengira dengan itikad baik bahwa perintah diberikan denganwewenang dan pelaksanaannya termasuk
dalam lingkungan pekerjaannya.
Berdasarkan ketentuan pasal 50
dan Pasal 51 ayat (1) KUHP tersebut ternyata bahwa sanksi pidana
tidak akan dijatuhkan manakala perbuatan yangdilakukan adalah untuk melaksanakan undang-undang,
atau untuk melaksanakan perintah jabatan, yang diberikan oleh pejabat yang
mempunyai kewenangan. Demikian dalam kedua hal itu, ada alasan pembenar .
Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut adalah
benar dan semestinya. meskipun demikian
terhadap kedua ketentuan itu tidak boleh diartikan bahwa setiap pelaksanaan
perintah jabatan selalu melepas orang yang diperintah dari tanggung jawab atas
perbuatan yang dilakukannya. Ketentuan dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP dapat
memberi penjelasan tentang hal itu, yaitu bahwa orang yang
diperintah dapat lepas dari tanggung jawab pidana atas perbuatannya
apabila
(1)
Secara subyekti., batin orang yang diperintah harus betul-betul mengira bahwa
perintah adalah sah, baik dari segi “pejabat” yang memerintah, maupun dari segi ”macam”
perintahnya.
(2)
Secara obyekti., apa yang diperintahkan itu harus masuk dalam lingkup pekerjaan orang yang
diperintah.
Di dalam Undang-Undang Nomor 36
tahun 2009 tentang Kesehatan, tanggung jawab pidana dirumuskan pada Pasal 190 bahwa :
(1) Pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dan atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan
pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)mengakibatkan terjadinya
kecacatan dan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan atau
tenaga kesehatan tersebut dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar
rupiah)
Pada ketentuan ini jelas bahwa
subyek yang bertanggung jawab adalah pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan (salah
satunya adalah Rumah Sakit). Artinya bahwa
Rumah Sakit dapat dibebani tanggung jawab pidana jika dalam tugas pelayanannya
menolak pasien dalam keadaan gawat darurat dengan sanksi pidana yang
cukup berat berupa sanksi kumulatif yakni pidana penjara dan denda. Sanksi pidananya bahkan diperberat jika
mengakibatkan kondisi kecacatan dan atau kematian terhadap pasien gawat
darurat yang ditolak tersebut.
Di dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit, tanggung jawab
pidana dirumuskan dalam Bab XIII, Ketentuan Pasal 62 dan Pasal 63. Pada Pasal 62 disebutkan bahwa: “Setiap
orang yang dengan sengaja menyelenggarakan
Rumah Sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Berdasarkan ketentuan ini maka penyelenggara Rumah Sakit
(Pemilik Perorangan) dapatdijatuhi sanksi kumulatif yaitu pidana penjara
dan denda.
Adapun Pasal 63, dirumuskan sebagai berikut :
(1) Dalam tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan oleh korporasi,
selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda denngan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimanadimaksud dalam
Pasal 62.
(2) Selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :
a. pencabutan izin
usaha dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Dari ketentuan diatas dapat
diartikan bahwa tanggung jawab pidana bisadibebankan pada pengurus dan korporasi.
Rumah Sakit sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan berfungsi untuk melaksanakan upaya pelayanan kesehatan paripurna
meliputi upaya prefentif, promotif,
kuratif dan rehabilitatif. Jadi dalam rangka upaya pelayanan kesehatan maka Rumah Sakit melaksanakan semua proses
kegiatan pelayanan, yang melibatkan
berbagai profesi tenaga kesehatan di Rumah Sakit, menerapkan manajemen
pengelolaan Rumah Sakit dalam rangka melayani pasien selaku pengguna
jasa rumah sakit.
Dari uraian-uraian diatas sudah
dijelaskan di dalam Undang-Undang Kesehatan , Undang-Undang Rumah Sakit serta KUHP bahwa
dalam memberikan pelayanan kesehatan terdapat hal-hal yang berkaitan
dengan aspek hukum pidana, dimulai dari
operasionalnya berupa izin hingga pelayanan kesehatan yangdiberikan oleh
tenaga kesehatan yang ada di dalamnya. Apabila semua pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit tidak
sesuai dengan Standar Pelayanan di Rumah Sakit, maka perbuatan
tersebut adalah melawan hukum dan bisa diberikan sanksi pidana dan denda.