SELAMAT DATANG DI PREMIUM SERVICE SeMART LAW FIRM

Pedoman Penghitungan Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Demikian yang dikatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991. Yang dimaksud dengan subjek pajak adalah orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, dan bentuk usaha tetap (Pasal 2 ayat (1) UU 36/2008).
Yang menjadi objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008 adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Dalam bagian penjelasan umum UU 36/2008 yang antara lain dikatakan bahwa dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang dipandang perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang.
Untuk menjawab pertanyaan Anda apakah UU 36/2008 bisa dijadikan sebagai pedoman penghitungan pajak penghasilan, kami mengacu pada angka 3 Penjelasan Umum UU 36/2008 yang mengatakan bahwa dengan adanya beberapa perubahan dalam undang-undang yang mengatur Pajak Penghasilan ini, maka arah dan tujuan penyempurnaan itu diharapkan bisa tercapai, yaitu:
a.    a. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b.    b. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
c.    c. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
d.    d. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan
e  e. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
Mengacu pada poin-poin di atas, kami menyimpulkan bahwa dengan terus dilakukannya penyempurnaan terhadap undang-undang tentang Pajak Penghasilan ini yang tentu disesuaikan dengan perkembangan dinamika di masyarakat, maka UU 36/2008 memang dapat dijadikan sebagai pedoman penghitungan pajak penghasilan. Menurut hemat kami, mengenai patuh atau tidaknya masyarakat terhadap suatu undang-undang memang tidak bisa dinilai hanya dengan keberlakuan suatu undang-undang , butuh kesadaran penuh dari masyarakat untuk terus taat dalam perpajakan.
Hal lain yang disampaikan oleh undang-undang ini salah satunya adalah untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menerbitkan norma penghitungan, demikian antara lain yang disebut dalam penjelasan Pasal 14 UU 36/2008. Ini artinya, UU 36/2008 telah memberikan pedoman kepada wajib pajak untuk bisa melakukan penghitungan pajaknya.
Sebagai contoh efektivitas keberlakuan UU 36/2008 itu sendiri, juga dapat kita lihat dari penjelasan Pasal 14 UU 36/2008 yang antara lain mengatakan bahwa informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Artinya, kekeliruan atas informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan wajib pajak bisa saja terjadi. Inilah yang kemudian menjadi masalah.
Namun, solusinya adalah Direktorat Jenderal Pajak memberikan pedoman berupa Norma Penghitungan untuk memudahkan wajib pajak menentukan besarnya penghasilan neto. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal (penjelasan Pasal 14 ayat (1) UU 36/2008):