Ketentuan perpajakan sejak reformasi perpajakan tahun 1983 telah
mengatur pemungutan pajak dengan sistem self assessment. Pelaksanaan
sistem self assessment tersebut dimulai dari kewajiban Wajib Pajak untuk
mengisi Surat Pemberitahuan Pajak dengan lengkap dan benar serta
menyampaikannya ke Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar sebagai sarana komunikasi .
Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang disampaikan Wajib Pajak tersebut
diuji kebenarannya oleh Fiskus melalui Pemeriksaan Pajak. Tata Cara
Pemeriksaan Pajak telah diatur dalam ketentuan perpajakan dengan rinci
sehingga didalam proses pelaksanaannya diberi norma-norma yang harus
dipatuhi baik oleh Fiskus maupun oleh Wajib Pajak.
Sebagai hasil pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan Pajak tersebut ,
Fiskus menerbitkan surat ketetapan pajak yang dapat berupa Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Nihil
(SKPN), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), atau Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa sebenarnya surat
ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Fiskus tersebut adalah merupakan
hasil pengujian (adjugedment) pertama terhadap surat pemberitahuan pajak
yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
Namun untuk lebih menjamin kebenaran ketetapan pajak tersebut,
ketentuan perpajakan masih membuka ruang atau kesempatan bagi Wajib
Pajak untuk mengajukan keberatan terhadap besarnya pajak yang tercantum
dalam surat ketetapan pajak tersebut maupun terhadap besarnya
pemungutan/pemotongan pajak yang dilakukan kepada Wajib Pajak.
Dalam pengajuaan keberatan atas surat ketetapan pajak juga telah
diatur mengenai jangka waktu pengajuan,dokomen-dokumen yang harus
dilampirkan, serta besarnya pajak yang menurut Wajib Pajak seharusnya
terutang atau pajak yang lebih bayar.
Dalam proses penyelesaian keberatan , ketentuan perpajakan telah
mengatur dengan rinci hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban baik oleh
Fiskus maupn oleh Wajib Pajak. Hal ini dimaksudkan untuk lebih menjamin
terwujudnya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Mengingat lembaga yang menyelesaikan keberatan adalah Direktorat
Jenderal Pajak sebagai lembaga penerbit surat ketetapan pajak yang
diajukan keberatan tersebut maka dari segi obyektivitasnya masih di
pertanyakan Wajib Pajak sebagai pencari keadilan itu.Oleh
karena itu maka di dalam ketentuan terbaru dalam menyelesaikan
keberatan tersebut, terhadap Wajib Pajak diberi kesempatan untuk
melakukan pembahasaan (closing) terlebih dahulu dengan Penelaah/
Peneliti
Keberatan di dalam
pembahasan akhir atau closing, Wajib Pajak menyatakan seberapa besar
pajak yang disetujuinya, dan jumlah yang disetujui tersebut harus di
lunasi sebelum Wajib Pajak mengajukan upaya hukum banding.
Dengan demikian tercipta kepastian hukum dan kemanfaatan atas pajak
yang seharusnya terutang bagi Wajib Pajak yang mengajukan Keberatan.