KASUS POSISI
Perselisihan terjadi antara Pemerintah RI dengan Newmont terkait
divestasi saham perusahaan. PT. NNT mengoperasikan daerah tambang emas terbesar
kedua di Indonesia. Setiap tahunnya Newmont membayar pajak dan royalti tambang
kepada pemerintah RI yang nilainya triliunan rupiah. Akuisisi 7% saham Newmont
oleh pemerintah RI yang baru saja dilakukan beberapa minggu lalu menghabiskan
biaya 2,7 triliun rupiah sehingga nilai perusahaan diperkirakan hampir 40
triliun rupiah. Dengan nilai aset dan pendapatan yang demikian tinggi,
wajar bila saham Newmont menjadi incaran para pebisnis di bidang tambang. Salah
satu grup bisnis Tambang yang sangat menginginkan dan telah memiliki saham
Newmont adalah PT. Bumi Resources,Tbk milik Grup Bakrie yang dikenal dengan
tambang batu bara besarnya di Kalimantan.
Sesuai Kontrak Karya tahun 1986 yang ditandatangani Pemerintah RI dan PT. NNT,
ada kesepakatan untuk mendivestasikan mayoritas saham Newmont kepada bangsa
Indonesia (dalam kontrak disebut sebagai Indonesian Participant) setelah
5 tahun masa operasi tambang. Divestasi direncanakan bertahap dan dilakukan
selama 5 tahun, yang semestinya jatuh pada tahun 2006-2010. Singkat kata
divestasi Newmont gagal dilakukan pada masa awal periode tersebut dan baru
dilakukan setelah Pemerintah RI menang dalam kasus divestasi saham tersebut di
pengadilan arbitrase tahun 2009. Saham sebesar 31% mesti didivestasikan oleh
kepemilikan asing Newmont (yang 20% telah dimiliki PT. Pukuafu Indah,
perusahaan swasta nasional) sehingga Indonesian Participant bisa
memiliki 51% saham perusahaan tambang ini.
Perselisihan terjadi setelah Pemerintah RI menjatuhkan status default
(lalai) kepada Newmont, 11 Februari 2008,
karena tidak kunjung menjual 3% sahamnya
untuk periode 2006 dan 7% saham
periode 2007.
Pemerintah menggugat Newmont ke arbitrase internasional pada 3 Maret 2008. Di
hari yang sama, Newmont juga mengajukan gugatan atas pemerintah. Pada 11 Juli
2008, Newmont mengajukan arbitrase tambahan terkait divestasi 7% saham
yang diwajibkan kontrak karya. Proses arbitrase
berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang
tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta. Panel terdiri atas tiga anggota. Dua
orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia,
yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli
independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner).
Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase
agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont
dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default.
Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta arbitrase
memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara
dan Panas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba Pabum itu diacu oleh
arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan divestasi.
Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak
melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta
arbitrase menentukan apakah first right of refusal pemerintah sudah
tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada
pihak yang diinginkan.
Jaksa Pengacara Negara (JPN) Joseph Suwardi Sabda mengatakan, panel arbitrase
menilai, kesalahan NNT yang lalai dalam melakukan divestasi 17 persen sahamnya,
belumlah fatal sehingga tidak sebanding jika harus diganjar terminasi kontrak.
Kondisinya akan berbeda apabila porsi saham yang lalai didivestasi itu 50
persen lebih. Namun, JPN mengatakan, masih ada kemungkinan kontrak NNT diakhiri
jika tidak sanggup mematuhi putusan arbitrase. Sebab sesuai bunyi kontrak
karya, terminasi dapat dilakukan jika perusahaan tidak sanggup memperbaiki
kesalahan sampai batas waktu yang diberikan.
Pemerintah RI sebelumnya menolak karena menilai
pengajuan arbitrase itu belum memenuhi
syarat, karena status lalai belum dijatuhkan, akhirnya
menerima penyatuan arbitrase dan dimulai pada 15 Juli 2008. Melalui proses
panjang, akhirnya Majelis Arbitrase Internasional mengeluarkan lima
keputusan final pada 31 Maret 2009 yang memenangkan Pemerintah RI.
Pada 31 Maret 2009, Pemerintah Indonesia akhirnya memenangkan gugatan atas
kasus divestasi PT NNT di arbitrase internasional. United Nation Commission on
International Trade Law (UNCITRAL) dan Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal)
yang terdiri dari panel yang dikenal secara internasional, memerintahkan PT NNT
untuk melaksanakan ketentuan pasal 24.3 Kontrak Karya. Mereka juga menyatakan
bahwa PT NNT telah melakukan default (pelanggaran perjanjian),
memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen saham, yang
terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan 7% tahun 2007 kepada pemerintah
daerah sedangkan untuk tahun 2008 sebesar 7% kepada Pemerintah Republik
Indonesia. Semua kewajiban tersebut harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari
sesudah tanggal putusan arbitrase. Selain itu, saham yang didivestasikan
harus bebas dari gadai (clean and clear) dan sumber dana untuk pembelian
saham tersebut bukan menjadi urusan PT NNT. Newmont juga harus mengganti
biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan arbitrase
dan harus dibayar dalam tempo 30 hari sesudah tanggal putusan arbitrase.
Perusahaan tambang yang berkantor pusat di Denver, Colorado itu wajib membayar
biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk proses arbitrase sebesar AS$
1,8 juta.
Divestasi saham pada usaha pertambangan asing yang diartikan sebagai sejumlah
saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia dalam
Pasal 24 KK disepakati bahwa PT NNT berkewajiban mendivestasikan sahamnya pada
akhir tahun ke-5 sekurang-sekurangnya 15%, pada akhir tahun ke-6
sekurang-kurangnya 23%, pada akhir tahun ke-7 sekurang-kurangnya 30%, pada
akhir tahun ke-8 sekurang-kurangnya 37%, pada akhir tahun ke-9
sekurang-kurangnya 44%, dan pada tahun ke-10 sekurang-kurangnya 51%. Semua
kewajiban dari perusahaan menurut Pasal 24 ayat (4) KK akan dianggap dilaksanakan
segera sesudah tidak kurang dari 51% yang diterbitkan dan yang ada pada waktu
ditawarkan kepada dan dibeli oleh peserta Indonesia.
SUBYEK HUKUM
Subjek hukum
ialah pembawa hak dan kewajiban menurut hukum. Subjek hukum ialah individu
(orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi). Ada dua pihak yang
terkait dengan sengketa ini yaitu:
- Pemerintah Republik Indonesia sebagai Penggugat
- PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai Tergugat.
Serta United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dan
Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang juga menjadi subyek hukum
sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak dan kewajiban
TUNTUTAN
PENGGUGAT
Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu :
- Meminta panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default.
- Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default.
PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL
Keputusan Arbitrase Internasional tertanggal 31 Maret 2009 memenangkan
Pemerintah RI dan memerintahkan PT NNT untuk:
- Melaksanakan ketentuan pasal 24 (3) Kontrak Karya tentang kewajiban mendivestasikan sahamnya.
- PT NNT dinyatakan telah melakukan default (pelanggaran perjanjian) .
- Memerintahkan PT. NNT melakukan divestasi 17% saham dari tahun 2006 – 2008 kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
- Saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai (clean and clear) dan sumber dana untuk pembelian saham itu bukan menjadi urusan PT NNT.
- Memerintahkan PT NNT mengganti biaya yang sudah dikeluarkan pemerintah bagi kepentingan arbitrase perkara ini dalam tempo 30 hari sesudah tanggal putusan arbitrase
IDENTIFIKASI
MASALAH
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik suatu permasalahan-permasalahan
hukum yaitu:
- Apakah penyelesaian sengketa antara Pemerintah RI dengan PT Newmont Nusa Tenggara melalui Arbitrase Internasional telah sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 1999?
- Apakah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dalam Kasus PT Newmont Nusa Tenggara telah memenuhi Syarat-Syarat dalam Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999 dan ketentuan dalam Konvensi New York 1958?
LANDASAN
TEORI
Abitrase merupakan alternatif penyelesaian
sengketa perusahaan selain mediasi, negoisasi,
dan pengadilan. Menurut Black’s Law Dictionary
arbitrase didefinisikan sebagai:
“Arbitration.
an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons
in some disputed matter, instead of carrying it
to establish tribunals of justice, and is
intended to avoid the formalities, the delay, the expense
and vexation of ordinary litigation”.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor
30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Dilihat dari bentuknya,
arbitrase dapat dibedakan menjadi dua,
pertama, Klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa (Pactum de compromitendo). Kedua,
suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa (Akta kompromis).
Pendapat hukum lembaga arbitrase bersifat
mengikat (binding), oleh karena pendapat
tersebut akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjanjian
pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut).
Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum
tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian
(breach of contract – wanprestasi). Oleh
karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan
dalam bentuk upaya hukum apapun.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final
dan mengikat, berkekuatan hukum tetap, sehingga
ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa
alasan atau pertimbangan putusan arbitrase tersebut. Dalam
jurisprudensi (keputusan “hakim” terdahulu yang
digunakan sebagai dalil untuk memutuskan kasus
serupa) kita mengetahui ada suatu kasus
yaitu Arrest Artist de Labourer, dimana perkara
tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri padahal sudah memuat klausul arbitrase
untuk penyelesaian sengketanya. Sekalipun dalam praktik, masih kerap dijumpai
pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah dalam arbitrase.
Arbitrase baik nasional maupun Internasional mempunyai fungsi dan peran dalam
kerangka proses penyelesaian sengketa khususnya pada perdagangan. Arbitrase
merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang dapat di pilih di antara
penyelesaian sengketa komersial yang tersedia karena arbitrase merupakan
tempat penyelesaian sebagai forum komersial efektif dan Komersial yang
reliable, efisien dan efektif.
Forum arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa secara privat di antranya
dapat di ketahui sebagai berikut:
- Kebebasan Kepercayaan, Keamanan yang Arbitrase menarik berbagai perusahaan, pedagang untuk memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada mereka.
- Keahlian (expertise) disini para pihak yang bersengketa memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter mengenai keahlian yang di sengketakan melalui pengadilan
- Cepat dan hemat biaya proses Arbiter tidak terlalu formal sehingga mekanisme penyelesaian masalah lebih fleksibel. Di bandingkan dengan proses litigasi di pengadilan. Dengan demikian maka proses arbitrase lebih mudah dan efisisen. dan juga pada Arbitrase tidak ada putusan banding atau upaya hukum lainnya.
- Bersifat rahasia arbitrase sifatnya melindungi para pihak dari publisitas yang merugikan serta segala akbiatnya
- Pertimbangan putusan arbitrase lebih bersifat privat oleh sebab itu para arbiter dalam mempertimbangkan penyelesaian arbiter lebih bersifat privat dari pada bersifat public.
- Kecenderungan yang modern di maksudkan bahwa dalam dunia perdagangan internasional kecenderungan yang terlihat adalah Liberalisasi peraturan/perundang-undangan arbitrase untuk lebih mendoorong penggunaan arbitrase dari pada penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan umum.
- Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat sesuai dengan kehendak dan niat dari para pihak pelaku bisnis yang menghendaki putusan penyelesaian pada forum arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) kedua belah pihak. Sedangkan putusan pengadilan masih terbuka berbagai upaya hukum. Sehingga untuk memperoleh putusan yang tetap perlu waktu yang lama atau cukup lama.
Pada Arbitrase dikenal dengan teori Keadilan Rawls adil merupakan sifat yang
harus di miliki oleh manusia dalam rangka membela kepada siapapun tanpa
terkecuali walaupun berdampak akan merugikan dirinya sendiri adil adalah bahwa
mempersamakan sesuatu dengan yang lain baik dari segi nilai maupun dari segi
ukuransehingga dari sesuatu itu tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama
lain.
Teori Intuisionisme Rawls berpendapat bahwa teori ini dapat membantu kita dalam
proses problem keadilan. Pedekata intuitif bisa terjadi sangat problematis
terutama pada peragamnya sudut pandang yang bisa diterapkan pada berbagai macam
sudut masalah khususnya pada suatu masalah. Kususnya masalah keadilan dan pasti
bukan jalan keluar yang memadai.
Keadilan pada konteksnya adalah ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan
terhadap obyek diluar diri kita. Persoalan keadilan merupakan masalah yang
cukup rumit dan kompleks sebab menyangkut hubungan pada manusia atau antar
manusia dari dari segala kehidupannya.
Pada Arbtirase pilihan pada forum arbitrase sebagai fenomena penyelesaian
sengketa ialah seperti Alternatif penyelesaian sengketa (APS) atau Alternative
Dispute Resolution (ADR) karena arbitrase pada dasarnya tergolong kelompok Adjudicatory
methods of settlement atau adjudication yang terdiri dari dua
prototype yakni litigasi di pengadilan dan arbitrase. Sedangkan metode ADR
termasuk dalam kelompok non-adjudicatory methods of settlement
yang meliputi mediasi konsoliasi tapi berbeda dengan arbitrase pada arbitrase
putusan mengikat final tapi pada konsoliasi dan mediasi putusan tidak dapat
menghasilkan putusan yang mengikat yang dapat di laksananakan.
Klausul arbitrase ada stabdar-standanya misalkan
klausul arbitrase ICSIDbentuk standar dari yang sederhanan dari
Arbitrase.bentuk standar pada arbitrase ini menunjuk pda arbitrase ICSID dapat
di modofikasi menurut ke inginan para pihak. Pada standart klausula Arbitrase
menurut UNCITRAL (United Nations Commission On International Trade Law).
Dan di kenal dengan Standart klaususulan menurut menurut ICC. Sedangkan
standart klausull menurut ketentuan nasional di lingkup nasional di Indonesia
di kenal dengan forum Arbitrase BANI.
Dalam menyelesaikan hukum yang di pakai pada Arbitrase pertama-tama hukum yang
di pilih oleh para pihak yang bersengketa sebagaimana yang bedasarkan
perjanjian kontrak/ dokumen kontrak. Apabila tidak ada hukum yang tegas di
pilih oleh para pihak maka hukum yang di berlakukan adalah hukum yang di buat
para pihak yang telah di perjanjikan di buat atau hal-hal yang lain memberikan
petunjuk pada hukum yang di pakai.
Persyaratan mengenai kasus-kasus khusus untuk pengadilan menurut Undang-Undang
No 30 Tahun 1999 di undangkan sebagai pengaturan bagi masyarakat dan para
arbiter yang menghadapi penyelesaian sengketa.
Mengenai penyelesaian sengketa dapat di kategorikan pada tiga 3 golongan yang
routine tentunya cara ADR :
- Penyelesaian sengketa melalui negosiasi berupa negosiasi bersifat langsung maupun melalui pernytaaan pihak ketiga (mediasi dan konsoliasi).
- Penyelesaian sengketa dengan cara Litigasi baik yang bersifat nasional Internasional.
- Penyelesaian sengketa melaui arbitrase baik yang bersifat ad-hoc maupun yang melembaga.
Penyelesaian Arbitrase dipilih untuk sengketa kontraktual baik yang bersifad
sederhana maupun yang kompleks) yang dapat di golongkan menjadi:
- Quality Arbitration yang menyangkut permasalahan factual (Question Of Fact) dengan sendirinya memerlukan arbiter dengan kualifikasi yang tinggi
- Tehcnical Arbitraion tidak menyangkut permasalahan factual (ontruction of document) atau aplikasi ketentuan kontrak.
- Mixed Arbitration sengketa baik mengenai permasalahan factual maupun hukum (Question of law)
Peranan badan arbitrase komersial dalam menyelesaiakan sengketa isnis sangat
penting untuk sekarang ini khususnya pada bidang perdagangan internasional
maupun internasional dewasa ini sangatlah pemting. Banyak kontrak Internasional
yang memasukan klausulal arbitrase dsan khusus bagi kalangan bisnis cara
penyelesaian sengketa eperti ini sangatlah penting dan memberi ke untungan
sendiri daripada melalui badan peradilan.
Tahap-tahap Arbitrase adanya Klaususl arbitrase, permulaan ada
pendaftaran, persyaratan umum yang harus di pennuhi, adanya Konstitusi majelis
arbitrase (yaitu jumlah arbiter, kewarganegaraan/keahlian ariter,pemebritauhuan
oleh arbiter, prosedur penunjukkan arbiter, keahlian arbiter), dan Proses
arbitrase seperti adanya penyerahan berkas kepada arbiter pemeriksaan,
bukti-bukti, para ahli, proses persidangan,dan yang terakhir putusan arbitrase
yaitu jangka waktu tempat dan bentuk pemberitahuan dan akibat dari putusan ,
penentuan biaya dan juga adanya pembetulan pututsan dan ketetapan?berakhirnya
suatu putusan dan perlindungan dari suatu putusan
ANALISIS
Penyelesaian
Sengketa Divestasi Saham antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Newmont
Nusa Tenggara dikaji dari UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.
Di zaman sekarang ini, dalam menyelesaikan sengketa, para pihak dihadap banyak
sekali pilihan. Tidak hanya melalui pengadilan, mereka juga bisa menyelesaikan
sengketanya di luar pengadilan atau sering disebut
dengan model Alternative Dispute Resolution (Alternatif Penyelesaian
Sengketa), yang salah satunya termasuk Arbitrase.
Masing-masing media penyelesaian sengketa mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Hal tersebut tergantung pada pada beberapa faktor
misalnya jenis dan sifat transaksi;
strategi masing-masing pihak yang bertransaksi dan
pelaksanaannya.
Seperti halnya dalam kasus di atas yaitu perselisihan sengketa antara
Pemerintah RI Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara. Kedua belah pihak
dalam menyelesaikan sengketanya memilih Arbitrase sebagai
tempat mencari penyelesaian sengketa. Pemerintah
Indonesia mempermasalahkan kelalaian PT Newmont yang gagal melaksanakan
kewajiban divestasi dan menyatakan bahwa dapat diakhirinya kontrak karya. Pada
Pasal 24 ayat 3 Kontrak karya antara Pemerintah RI dan PT NNT menyatakan bahwa
pemegang saham asing PT NNT diwajibkan menawarkan saham asing PT NNT sehingga
pada tahun 2010 minimal 51% saham PT NNT akan beralih ke Pemerintah RI atau
peserta Indonesia lainnya. Saat ini 80% saham PT NNT yang mengeksplitasi
tambang tembaga dan emas di Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara
Barat (NTB) dikuasai Nusa Tenggara Partnership (Newmont 45% dan Sumitono 35%).
Sisa 20% dimiliki PT Pukuafu Indah.
Kasus sengketa antara Pemerintah RI versus PT Newmont NNT terkait dengan tuduhan
wan prestasi (cidera janji) yang dilakukan oleh perusahaan tambang berbasis
Amerika Serikat tersebut telah melewati sebuah pergulatan hebat di forum
arbitrase internasional, akhirnya putusan arbitrase international memutus PT
Newmont NNT bersalah dan dibebani kewajiban untuk mendivestasikan saham sesuai
dengan prosentase yang tertera dalam perjanjian kontrak karya yang telah
disepakati.
Dalam sidang arbitrase antara Pemerintah RI
dengan PT NNT, 31 Maret 2009, diputuskan
perusahaan emas asing ini harus
mendivestasi 17% sahamnya pada pihak Indonesia dalam
keadaan bersih dari gadai. Perusahaan asal Nevada AS itu diberi waktu 180 hari
menuntaskan divestasi tersebut, terhitung sejak putusan.
Arbitrase dilangsungkan dengan komposisi majelis arbitrase yaitu, panel terdiri
atas tiga anggota. Dua orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh
Pemerintah Indonesia, yaitu M Sonnarajah warga negara Indonesia dan pihak
Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi
ketua panel (Robert Briner). Proses arbitrase antara Pemerintah RI dan PT
Newmont Nusa Tenggara berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi
sampai digelarnya sidang tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta.
Pengertian putusan arbitrase asing, dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi
New York 1958. Dalam Pasal ini dijelaskan, yang dimaksud dengan putusan
arbitrase asing (menurut Konvensi ini) ialah putusan-putusan arbitrase yang
dibuat di wilayah negara lain dari negara tempat dimana diminta pengakuan dan
pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase yang bersangkutan (made in the
territory of a states other than the states where the recognition and
enforcement of such awards are sought).
UU 30/1999 tentang Arbitrase tidak memberikan pengertian apakah yang dimaksud
dengan Arbitrase Internasional. Namun dalam Pasal 1 angka 9 UU tersebut
diberikan pengertian mengenai Putusan Arbitrase Internasional, yaitu:
“Putusan
Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia,
atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut
ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase
internasional.”
Didasarkan atas pengertian tersebut maka putusan arbitrase antara Pemerintah RI
dan PT Newmont Nusa Tenggara adalah Putusan Arbitrase Internasional karena di
bawah prosedur arbitrase United Nation Commission on International
Trade Law (UNCITRAL), Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang terdiri
dari panel yang dikenal secara internasional sehingga dapat dikatakan pula
bahwa arbitrase tersebut adalah arbitrase internasional. Apabila dilihat dari rules
yang dipakai, yaitu rules dari United Nation Commission on
International Trade Law (UNCITRAL), adanya arbitrator asing, maka
menunjukkan adanya unsur asing (foreign elements) dari arbitrase ini
yang menyebabkan arbitrase ini dapat dikatakan sebagai arbitrase
internasional.
Perlu diingat, faktor perbedaan kewarganegaraan tidak mutlak. Tidak mesti
persengketaan terjadi antara dua pihak yang saling berbeda kewarganegaraan.
Bisa juga persengketaan terjadi antara orang-orang atau badan hukum yang
memiliki kewarganegaraan yang sama, asal mereka sepakat persengketaan
diselesaikan oleh badan arbitrase luar negeri. Dalam kasus yang demikian,
putusan arbitrase yang bersangkutan adalah arbitrase asing.
Dilihat dari kronologis, putusan arbitrase internasional yang memenangkan pihak
penggugat (Pemerintah RI) itu sudah benar adanya, karena berdasarkan ketentuan
perjanjian yang disepakati oleh para pihak, tercantum klausula perjanjian yang
menegaskan adanya kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PT Newmont untuk
mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah daerah. Tetapi kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan oleh Newmont sehingga pemerintah merasa dirugikan haknya. Mengacu
kepada perjanjian yang ada, bahwa setiap sengketa yang timbul akibat adanya
perjanjian itu, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui lembaga
arbitrase internasional.
Langkah hukum yang ditempuh pemerintah RI dengan menggugat Newmont NNT ke
arbitrase internasional sudah tepat dan sesuai dengan kesepakatan yang tertuang
didalam perjanjian kontrak karya.
Meskipun Newmont berkelit dan membantah tudingan melakukan pelanggaran dengan
menunjukan beberapa bukti, bahwa saham-saham Newmont sedang berada pada posisi
tergadaikan sehingga hal itu menjadi kendala dan menyebabkan tidak
terlaksanakanya kewajiban divestasi tersebut tetapi arbiter yang memimpin
persidangan arbitrase dalam sengketa Pemerintah RI versus PT Newmont tersebut
tidak mau terjebak dalam skenario hukum yang didalilkan oleh Newmont sehingga
mampu menghasilkan pustusan yang obyektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip
yang dianut oleh arbitrase.
Berdasarkan peta kasus terlihat bahwa:
- Ada kontrak karya pertambangan antara Pemerintah RI dengan PT Newmont NNT;
- Mereka menyepakati klausula kontrak yang ada, hal itu dibuktikan dengan penandatanganan persetujuan pelaksanaan kontrak oleh para pihak;
- Newmont telah melakukan eksplorasi di lokasi yang menjadi salah satu obyek perjanjian;
- Newmont tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati bersama untuk mendivestasikan sahamnya sesuai besaran yang telah diperjanjikan;
- Dalam jangka waktu tertentu Newmont tidak ada iktikad baik untuk melaksanakan kewajibannya.
Berdasarkan hal tersebut, secara terang menunjukan bahwa kesalahan berada pada
pihak Newmont NNT, sebab terdapat point dalam klausula perjanjian yang
menyebutkan bahwa Newmont berkewajiban mendivestasikan saham pertambangan dan
itu tidak dilaksanakan oleh Newmont. Sehingga secara hukum Newmont dianggap
telah melakukan breanch of contract (pelanggaran terhadap kontrak). Hal
tersebut berarti bahwa kemenangan yang diperoleh oleh pemerintah RI melalui
putusan arbitrase itu sesuai dengan kaidah hukum dan asas keadilan.
Obyektifitas para arbiter yang memimpin persidangan dan memutus perkara ini
patut diapresiasi positif oleh dunia internasional, khususnya oleh para pelaku
bisnis. Hal tersebut menunjukan bahwa arbitrase merupakan alternative
penyelesaian sengketa yang efektif dan creadible. Hal ini sesuai dengan
prinsip-prinsip yang dianut dalam undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa. Pesimisme memang seringkali
muncul ketika menghadapi persoalan hukum di lembaga internasional. Hal tersebut
disebabkan oleh lemahnya kemampuan para ahli hukum kita dalam penguasaan
aspek-aspek hukum internasional dan argumentasi hukum. Dengan adanya putusan
arbitrase ini berarti secara hukum posisi pemerintah sangat kuat untuk menuntut
hak-haknya dari PT Newmont NNT. Dasarnya adalah, bahwa berdasarkan asas yang
dianut dalam hukum arbitrase, putusan arbitrase itu sifatnya final and
binding sehingga tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh apabila
suatu kasus telah diputus oleh persidangan arbitrase.
Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing dalam Sengketa Divestasi antara Pemerintah RI dengan PT
Newmont Nusa Tenggara.
Kegagalan divestasi pada periode tahun ke enam dan ke tujuh menyebabkan
tertundanya pelaksanaan divestasi wajib ini. Sehingga pemerintah Indonesia
mengenakan status lalai dan berujung pada penetapan wanprestasi pada Arbitrase
dalam negeri. Sesuai dengan perjanjian kontrak karya yang di dalamnya terdapat
ketentuan pelaksanaan tempat menurut Pasal 22 ayat 3 akan diadakan di Jakarta
kecuali kedua belah pihak mufakat memilih tempat lain.
Klausula arbitrase bukanlah merupakan suatu perjanjian bersyarat, oleh karena
itu dalam pelaksanaannya tidak digantungkan kepada suatu kejadian tertentu di
masa yang akan datang serta tidak dipersoalkan mengenai masalah
pelaksanaan perjanjian tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan
lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara para
pihak yang berselisih tersebut. Klausula arbitrase ini merupakan tambahan yang
diletakkan pada perjanjian pokok, itu sebabnya disebut sebagai perjanjian
assesoir yang berisi mengenai persyaratan khusus mengenai cara penyelesaian perselisihan
yang timbul dari perjanjian pokok. Dan tidak menyimpangi ketentuan pada Pasal
22 ayat 3 ini, karena arbitrase yang berdimensi internasional lebih sering
dihunakan oleh kalangan bisnis lintas negara. Maka kondisi ini dapat dipahami
apabila dua pihak dalam perjanjian dari negara yang berbeda akan merasa
penyelesaian sengketa dalam pengadilan di negara salah satu pihak dapat
menimbulkan ketidakpercayaan, maka akan lebih baik apabila akan diselesaikan
oleh badan arbitrase internasional yang berpusat di negara lain yang dianggap
netral.
Karena alasan menggeruk keuntungan sebanyak-banyaknya perusahaan swata asing di
Indonesia berkecenderungan untuk menghindari adanya pembagian keuntungan
apalagi yang dibagikan cukup besar dengan penjualan sekitar 1,5 milyar dollar
lebih pada tahun 2005. Nilai penjualan tersebut cenderung meningkat seiring
dengan peningkatan harga emas dan tembaga di pasaran Internasional. Dengan
skema divestasi saham sebagaimana yang diatur pada Pasal 24,4. Perjanjian
kontrak pada PT NNT dengan pemerintah Indonesia, maka dalam tiga tahun ke depan
PT NNT, telah dimiliki oleh mayoritas nasional dengan andil sebesar 51% saham.
Untuk melaksanakan putusan arbitrase ini diperlukan penetapan melalui
Pengadilan Negeri. Untuk pelaksanaan putusan arbitrase dapat dilaksanakan oleh
Pengadilan Negeri yang telah dilaporkan oleh arbiter yang menyerahkan putusan
arbiter selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) sejak tanggal putusan
diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Pendaftaran dan pencatatan ini kegunaannya ialah untuk kepentingan atas
pelaksanaan putusan Arbitrase tersebut, jika salah satu pihak dalam putusan
arbitrase tersebut tidak melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara
sukarela. Dalam hal yang demikian maka atas permohonan dari pihak yang
berkepentingan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, Ketua
Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut didaftarkan dan dicatat, dapat
menjatuhkan perintah pelaksanaan putusan arbitrase.
Perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri, diberikan
dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi
didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah
pelaksanaan, diberikan hak untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan
arbitrase tersebut telah diambil dalam suatu proses yang sesuai:
- Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara telah diangkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereka;
- Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis arbitrase tersebut adalah perkara yang menurut hukum memang dapat diselesaikan dengan arbitrase; dan
- Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Seperti uraian yang telah dikemukakan di depan, arbitrase menjanjikan
penyelesaian yang cepat serta tidak melibatkan badan-badan Negara dalam
mengambil putusan. Sehingga banyak negara telah menyetujui pemakaian arbitrase
dalam menyelesaikan perselisihan perdagangan antar negara. Terhadap putusan
yang telah dijatuhkan oleh arbiter tersebut, dan kemudian akan dapat
dilaksanakan di negara dimana putusan tersebut seharusnya dijalankan. Hingga
saat ini dikenal beberapa konvensi tingkat internasional yang berisikan
kesepakatan dari para peserta konvensi tersebut untuk menerima, mengakui dan
melaksanakan setiap keputusan arbitrase di negara peserta konvensi yang telah
meratifikasi konvensi tersebut. Konvensi yang pertama berkaitan dengan
perselisihan dalam bidang penanaman modal yaitu ICSID Convention, yang kedua
berhubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan semua putusan arbitrase asing di
Indonesia yaitu New York Convention 1958.
New York Convention menyatakan adanya pengakuan dan pelaksanaan dari setiap
putusan arbitrase yang di ambil di luar wilayah negara dimana putusan tersebut
akan dilaksanakan. Hal tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 3 Konvensi New
York. Hal ini merupakan pengakuan pada setiap negara yang telah meratifikasi
Konvensi New York agar memperlakukan semua putusan arbitrase yang diambil di
Negara lain seolah-olah sebagai putusan arbitrase dalam negeri.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur ketentuan mengenai arbitrase
internasional hanya mengenai aspek putusannya atau eksekusinya, tetapi sama
sekali tidak menyebutkan definisi dari arbitrase internasional. Menurut Munir
Fuady, arbitrase internasional yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 sebenarnya adalah arbitrase asing.
Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Konvensi New York 1958 yang
mempersoalkan putusan eksekusi arbitrase asing (foreign arbitral award),
bukan hanya arbitrase Internasional. Bahkan dalam sejarah hukum arbitrase di
Indonesia, juga yang dikenal adalah eksekusi putusan arbitrase asing. Hal ini
terlihat dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1981 yang mengesahkan
berlakunya Konvensi New York 1958 maupun dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing.
Dihadapkan kepada badan peradilan di Indonesia yang dianggap belum mampu dalam
permasalahan transaksi bisnis Internasional, sesuai dengan keputusan pemerintah
mengajukan kegagalan divestasi PT NNT kepada arbitrase internasional maka akan
timbul pertanyaan mengenai keraguan pelaksanaan putusan pengadilan asing di
Indonesia. Sesuai dengan prinsip hukum acara yang berlaku di Indonesia,
keputusan hakim asing tidak dapat serta merta dilaksanakan di Indonesia.
Pengadilan di Indonesia hanya dapat menggunakan keputusan tersebut sebagai
salah satu bahan atau bukti dalam memberikan keputusannya sendiri dalam
suatu perkara baru yang diajukan ke hadapan pengadilan tersebut. Dalam
hubungannya dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase maka perlu
diperjanjikan bahwa putusan arbitrase tersebut “final and binding”,
yaitu tidak bisa dimintakan banding ke pengadilan. Walaupun sudah ditetapkan
bahwa penyelesaian sengketa akan dilaksanakan melalui arbitrase , tidak jarang
salah satu pihak tetap mengajukan perselisihannya ke Pengadilan, namun Mahkamah
Agung RI konsisten dengan kompetensi ablosut yaitu apabila para pihak telah
memperjanjikan arbitrase sebagai tempat sengketa, pengadilan tidak mempunyai
wewenang untuk memeriksa perkara yang diajukan kepadanya.
Menurut Pasal V Konvensi New York 1958 tentang pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase Luar Negeri, meyatakan bahwa negara yang diminta untuk
melaksanakan putusan arbitrase luar negeri dapat menolak melaksanakannya karena
beberapa alasan. Untuk lebih jelasnya berikut adalah petikan dari Pasal V
Konvensi New York 1958:
- Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sought, proof that:
a)
The parties to the agreement referred to in article II were, under the law
applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not valid
under the law to which the parties have subjected it or, failing any indication
thereon, under the law of the country where the award was made; or
b)
The party against whom the award is invoked was not given proper notice of the
appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or was
otherwise unable to present his case; or
c)
The award deals with a difference not contemplated by or not falling within the
terms of the submission to arbitration, or it contains decisions on matters
beyond the scope of the submission to arbitration, provided that, if the
decisions on matters submitted to arbitration can be separated from those not
so submitted, that part of the award which contains decisions on matters
submitted to arbitration may be recognized and enforced; or
d)
The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not in
accordance with the agreement of the parties, or, failing such agreement, was
not in accordance with the law of the country where the arbitration took place;
or
e)
The award has not yet become binding on the parties or has been set aside or
suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of
which, that award was made.
2.
Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the
competent authority in the country where recognition and enforcement is sought
finds that:
a)
The subject matter of the difference is not capable of settlement by
arbitration under the law of that country; or
b)
The recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy
of that country.
Selanjutnya Pasal VI Konvensi ini juga menegaskan kembali mengenai penolakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal V ayat (1) huruf e dengan menyatakan bahwa:
“If an
application for the setting aside or suspension of the award has been made to a
competent authority referred to in article V (1) (e), the authority before
which the award is sought to be relied upon may, if it considers it proper,
adjourn the decision on the enforcement of the award and may also, on the
application of the party claiming enforcement of the award, order the other
party to give suitable security”.
Berdasar ketentuan yang terdapat dalam Konvensi New York Pasal V tersebut,
dapat disimpulkan bahwa putusan arbitrase luar negeri tidak dengan serta merta dapat
dilaksanakan di negara dimana putusan tersebut dimohonkan untuk dieksekusi
sebelum memenuhi prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam konvensi
ini. Dan putusan arbitrase Internasional dapat merupakan salah satu bahan yang
akan ditindaklanjuti dengan memohonkan penyelesaian perkara kepada pengadilan
di Indonesia.
Indonesia, melalui dikeluarkannya Keppres No. 34 tahun 1981, telah
menjadi anggota dalam Konvensi New York 1958 tentang Penerimaan dan Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing, yang mana atas dasar artikel 3 konvensi tersebut
Indonesia harus menerima dan melaksanakan putusan arbitrase asing yang akan
dilaksanakan atau dieksekusi di wilayahnya. Dalam kasus di atas eksekusi
putusan arbitrase dapat dilakukan karena alasan untuk melakukan penolakan
sebagaimana yang tercantum Pasal V dan VI Konvensi New York 1958 tidak
terpenuhi.
Selain hal tersebut, berdasarkan Pasal 66 UU No. 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase, maka ada beberapa syarat suatu putusan arbitrase asing/internasional
dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia:
- Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Indonesia
dan Swiss, negara dimana putusan dijatuhkan, terikat dalam perjanjian
multilateral yaitu pada konvensi New York 1958, yang mana Swiss telah
meratifikasi konvensi tersebut pada tanggal 1 Juni 1965.
- Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
Putusan
arbitrase dalam kasus ini merupakan putusan atas sengketa divestasi saham PT
Newmont Nusa Tenggara yang dalam klasifikasi hukum di Indonesia masuk dalam
lingkup hukum perdagangan (commercial law)
- Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Masalah
ketertiban umum (Public Order/Public Policy) adalah sesuatu yang sudah
cukup lama diperdebatkan oleh ahli hukum, khususnya dalam hukum perdata
internasional. Tidak adanya ketentuan yang baku mengenai batas-batas suatu
ketertiban umum selalu menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Pasal 4 ayat
(2) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing secara tidak langsung memberikan definisi dari
ketertiban umum di Indonesia yaitu sebagai sendi-sendi asasi dari seluruh
sistem hukum dan masyarakat di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah
sendi-sendi asasi yang dimaksud dan sejauh apakah pelanggaran terhadap
sendi-sendi asasi tersebut.
Beberapa
ahli hukum menyatakan bahwa dengan ditabraknya sendi-sendi asasi di suatu
negara maka akan menimbulkan kegoncangan yang luar biasa hebat dari suatu
negara. Adanya putusan dari arbitrase yang mengharuskan PT Newmont Nusa
Tenggara melakukan divestasi sahamnya tampaknya masih terlalu jauh untuk
dikatakan sebagai putusan yang menggoncangkan sendi-sendi asasi di Indonesia.
- Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
- Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakaan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus PT NNT melibatkan langsung Negara Republik Indonesia karena PT NNT adalah badan usaha yang menjalankan usahanya di Indonesia.
Atas dasar telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 66 UU 30/1999 maka
seharusnya putusan arbitrase dalam kasus ini dapat dilaksanakan dalam wilayah
hukum Republik Indonesia
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Didasarkan atas pengertian Pasal 1 angka 9 UU N0. 30 Tahun 1999 maka putusan arbitrase antara Pemerintah RI dan PT Newmont Nusa Tenggara adalah Putusan Arbitrase Internasional karena di bawah prosedur arbitrase United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL), dan Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang terdiri dari panel yang dikenal secara internasional sehingga rules yang dipakai ialah rules dari United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL), adanya arbitrator asing, maka menunjukkan adanya unsur asing (foreign elements) dari arbitrase ini dapat dikatakan pula bahwa arbitrase tersebut adalah arbitrase internasional.
- Indonesia melalui dikeluarkannya Keppres No. 34 tahun 1981, telah menjadi anggota dalam Konvensi New York 1958 tentang Penerimaan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang mana atas dasar artikel 3 konvensi tersebut Indonesia harus menerima dan melaksanakan putusan arbitrase asing yang akan dilaksanakan atau dieksekusi di wilayahnya. Dalam kasus di atas eksekusi putusan arbitrase dapat dilakukan karena alasan untuk melakukan penolakan sebagaimana yang tercantum Pasal V dan VI Konvensi New York 1958 tidak terpenuhi. Selain hal tersebut, atas dasar telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 66 UU 30/1999 maka seharusnya putusan arbitrase dalam kasus ini dapat dilaksanakan dalam wilayah hukum Republik Indonesia.