SELAMAT DATANG DI PREMIUM SERVICE SeMART LAW FIRM

Pengakuan Anak Diluar Nikah

Kasus Posisi
Pemohon telah melakukan hubungan seksual dengan Termohon di luar perkawinan. Akibatnya dari hubungan tersebut, Termohon melahirkan bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Fulan, pada 13 November 2004. Pemohon dan Termohon, kemudian menikah dengan sah di Kantor Urusan Agama (KUA), Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, pada tanggal 20 Agustus 2005.
Dalam rangka mendapatkan akta kelahiran anak mereka yang menyatakan sebagai anak dari Pemohon dan Termohon, Pemohon mengajukan permohonan pengakuan anak ke Pengadilan Agama Kabupaten Sleman pada tanggal 11 Juli 2006 yang tercatat di Kepaniteraan Pengadilan Agama Sleman pada tanggal 11 Juli 2006 dengan nomor perkara: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn.
Pertimbangan hukum
Dalam proses persidangan, Pemohon mengakui anak yang namanya Fulan, lahir pada tanggal 13 November 2004, sebagai anak biologisnya akibat dari hubungan seksual dengan Termohon, dan Termohon tidak menolak pernyataan Pemohon tersebut serta tidak keberatan atas permohonan Pemohon. Untuk mendukung permohonannya, Pemohon mengajukan alat-alat bukti baik surat maupun saksi.
Bukti surat terdiri dari Fotokopi KTP, surat keterangan lahir anak dari Rumah Sakit Bersalin, dan Kutipan Akta Nikah Pemohon dan Termohon. Sementara saksi terdiri dari dua orang, yang pertama adalah adik laki-laki Pemohon, dan yang kedua adalah bibi Termohon. Masing-masing saksi memberikan kesaksian bahwa Pemohon dan Termohon telah memiliki satu anak sebelum perkawinan yang sah, sebagai akibat dari hubungan seksual mereka dan bahwa tidak ada sangkalan dari keluarga Termohon dan yang lain. Baik Pemohon maupun Termohon menerima keterangan para saksi.
Dalam penalaran hukum, majelis hakim berpendapat bahwa tidak ada ketentuan yang jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur kasus tersebut. Dalam KHI hanya ada Pasal 53 yang mengatur pernikahan wanita hamil. Menurut Majelis hakim, Pasal 53 KHI didasarkan pada Al-Quran, Surah An-nur, ayat 3. Filsafat hukum Islam dari ayat tersebut adalah dalam rangka  perlindungan dan kemaslahatan anak yang telah terjadi proses pembuahannya di luar nikah sehingga ada teori hukum: "hukum mengikuti kepentingan publik (kemaslahatan) yang kuat (al-hukmu yattabi'u al-mashlahah ar-rajihah)."  Selain itu, fakta-fakta dalam proses persidangan telah memenuhi Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 tahun 2002) dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama . Oleh karena itu permohonan dapat dikabulkan dan Majelis hakim memutuskan anak yang namanya Fulan diakui sebagai anak sah Pemohon dan Termohon berdasarkan pengakuan Pemohon.
Analisis Putusan
Istri Pemohon didudukkan sebagai Termohon dalam kasus ini karena istri Pemohon tidak ikut menjadi Pemohon dalam kasus ini, sehingga untuk mendapatkan klarifikasi dari istri Pemohon, istri Pemohon harus ditetapkan sebagai Termohon.
Dalam fikih, ada cara untuk menghubungkan garis keturunan seseorang. Dalam hal, terdapat anak yang tidak memiliki orangtua yang pasti, sebagai Laqith atau anak temuan, seseorang - yang menemukan dan mengakuinya sebagai anak – dapat meminta kepada hakim untuk menghubungkan nasab anak temuan tersebut kepadanya, atau biasa dikenal dengan istilhaq. Tentu saja, hal itu bisa dilakukan jika tidak ada keberatan dan sangkalan dari pihak lain.
Berdasarkan argumentum a fortiori atau al-mafhum al-muwafaqah, jika anak yang tidak memiliki nasab yang jelas saja dapat dinasabkan kepada orang yang mengakuinya melalui istilhaq, maka anak yang jelas bapak biologisnya juga dapat dinasabkan kepada bapak biologisnya. Hal ini tidak lain adalah dalam rangka perlindungan terhadap anak.
Dalam kasus ini, Ibnu Taimiyah, juga memiliki pendapat hukum yang sama. Menurut Ibnu Taimiyah, anak yang lahir di luar perkawinan (walad az-zina) dapat dihubungkan nasabnya dengan ayah kandungnya (az-zani). Di antara dalil atas pendapat hukumnya adalah bahwa Syari’ memerintahkan untuk melindungi keturunan, untuk mengurus anak-anak, untuk mengasuh mereka dengan persiapan dan pendidikan yang baik, untuk menyelamatkan mereka dari kepunahan dan keterpisahan, dan dengan menghubungkan nasab anak yang lahir di luar perkawinan dengan ayah biologisnya dapat mewujudkan maslahah (menjamin hak-hak anak). Selain itu, anak tersebut tidak memiliki dosa, dan tidak ada kejahatan yang dilakukan oleh anak tersebut. 

Penting untuk dicatat bahwa dosa dari ayah dan ibu tidak bisa dijatuhkan pada anak mereka. Oleh karena itu, tidak adil jika anak itu harus kehilangan garis keturunannya kepada ayah karena dosa orangtuanya. Dengan mengabulkan permohonan pengakuan terhadap anak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi anak. Maslahah harus memenuhi syarat seperti pasti (qath'i), darurat (dharuri), dan umum (kulli). Dan syarat-syarat ini melekat pada putusan yang memungkinkan anak yang lahir di luar perkawinan dihubungkan nasabnya dengan ayah kandungnya. Anak dapat memiliki status yang setara dengan anak-anak lain dan hidup dengan penuh percaya diri. Dia memiliki hak waris kepada ayahnya dan berhak mendapatkan pengasuhan dari ayahnya. Inilah yang dikandung dalam Pasal 3 UU No. 23 Tahun 2002, yang berbunyi: “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera."