SELAMAT DATANG DI PREMIUM SERVICE SeMART LAW FIRM

Perlakuan Perpajakan Terhadap Non Performing Loan

Non Performing Loan (NPL) merupakan kredit bermasalah yang bisa meliputi kredit diragukan, kredit tidak lancar dan kredit macet. Adanya NPL ini apabila tidak segera di atasi akan mengakibatkan Bank yang bersangkutan menjadi tidak sehat. Dari kajian Hukum Pajak, adanya sengketa NPL ini bisa diakibatkan karena perbedaan pendapat mengenai NPL ini bisa dimasukan sebagai pengurang penghasilan bruto atau tidak untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. Perbedaan pendapat ini bisa terjadi karena ketidakpastian dari peraturan yang mengatur tentang NPL tersebut. Oleh karena itu pengaturan tentang NPL disamping harus mencerminkan keadilan juga harus berkepastian hukum.
Berkaitan dengan NPL tersebut, sering terjadi perbedaan pendapat (dispute ) antara ditjen pajak dengan wajib pajak mengenai NPL yang dalam istilah pajak dikenal dengan piutang ragu-ragu yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Apakah NPL ini bisa dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto atau tidak untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak.
Terjadinya sengketa pajak itu, diakibatkan antara lain perbedaan penghitungan tentang besarnya pajak yang terutang antara wajib pajak dengan pemerintah. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa dalam sistem self assessment, titik berat aktifitas perpajakan ada pada wajib pajak. Wajib pajak diberikan kepercayaan kepercayaan untuk melakukan kewajiban perpajakannya sendiri antara lain menghitung sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Sengketa pajak ini bisa terjadi karena setelah dilakukan pemeriksaan oleh fiscus terdapat perbedaan mengenai besarnya pajak yang harus dibayar.
Sengketa pajak juga dapat timbul karena adanya ketentuan perpajakan yang kurang mencerminkan kepastian hukum sehingga dapat menimbulkan multitafsir. Terjadinya sengketa pajak dapat dikarenakan penafsiran yang berbeda antara wajib pajak dengan petugas pajak. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu terus dilakukan pengkajian terhadap aturan pajak yang berlaku saat ini dari aspek kepastian hukumnya, termasuk ketentuan perpajakan yang berkaitan dengan NPL. Sengketa pajak yang berkaitan dengan NPL dapat juga terjadi dikarenakan ketentuan perpajakan yang mengatur tentang NPL masih belum mencerminkan kepastian hukum sehingga sehingga dapat menimbulkan multitafsir.
Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001, diuraikan NPL yang dapat dijadikan biaya harus memenuhi syarat akumulatif berupa : telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial, telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara atau adanya perjanjian tentang penghapusan piutang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, telah diumumkan di media massa dan Wajib Pajak harus menyerahkan daftar debitur NPL kepada Ditjen Pajak.
Perkembangan selanjutnya pengaturan mengenai NPL ini, lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang piutang yang nyata-nyata tidak ditagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, ditegaskan dalam Pasal 2 sebagai beriikut:
(1)
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul dibidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak.
(2)
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
PMK Nomor 105 /PMK.03/2009 tersebut di atas dalam perkembangannya dirubah dengan PMK Nomor Nomor 57 /PMK.03/2010 tentang perubahan atas PMK 105/PMK.03/2009 tentang piutang yang nyata-nyata tidak ditagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.Perubahan yang terdapat dalam PMK Nomor 57/PMK 03/2010 terhadap PMK No.105/PMK.03/2009 , adalah perubahan terhadap Pasal 1 angka 3, Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka dapat diketahui bahwa ketentuan yang berkaitan dengan NPL , secara garis besarnya sebagai berikut :
-          Pada prinsipnya untuk menghitung PKP (Penghasilan Kena Pajak) wajib pajak piutang yang nyata-nyata tak tertagih (NPL) dibidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak dengan syarat-syarat tertentu.
-          Apabila terdapat hubungan istimewa antara pihak-pihak yang mempunyai piutang dari transaksi bisnis dengan wajib pajak, maka piutang yang tak tertagih tersebut tidak dapat digunakan untuk mengurangi Penghasilan bruto untuk menghitung PKP.
Apabila terjadi sengketa pajak yang berkaitan dengan NPL maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak adalah mengajukan keberatan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh BCA pada Kasus NPL di “BCA” beberapa waktu yang lalu , dimana BCA mengajukan keberatan ke Dirjen atas hasil pemeriksaan aparat pajak, yang pada akhirnya dikabulkan oleh Dirjen Pajak saat itu (Hadi Purnomo), meskipun akhirnya saat ini akibat putusan tersebut Hadi Purnomo menjadi tersangka oleh KPK.
Keberatan merupakan salah satu upaya hukum yang dimiliki oleh wajib pajak apabila diperlakukan tidak adil oleh fiscus. Keberatan dapat diajukan kepada Dirjen Pajak terhadap SKPKB, SKPKBT,SKPLB,SKPN atau Pemotongan oleh pihak ketiga.
Apabila wajib pajak tidak puas terhadap keputusan Dirjen Pajak atas keberatan yang diajukannya, maka dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.